News Update :
Home » » Fraktur

Fraktur

Selasa, 21 Juni 2011 | 0 komentar



1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula (Brunner & Suddart, 2000). (Sjamsuhidayat, 1997) mendefinisikan bahwa fraktur atau patah tulang adalah teputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sedangkan menurut (Enggran, 1998) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang akibat trauma beberapa fraktur terhadap proses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur patologis. (Carpenito, 2000) mengemukakan bahwa fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang lebih yang besar dan yang diserap tulang. Dan menurut . (Sjamsuhidayat, 1999) fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit dimana potensial terjadi infeksi

2. Etiologi
Penyebab patah tulang/ fraktur (menurut Sjamsuhidayat dan Wim De Jong 1997) adalah trauma, yang dibagi atas:
a. Trauma langsung yaitu: benturan pada tulang, biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhater mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan)
b. Trauma tak langsung yaitu: titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi.
c. Trauma ringan yaitu: dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau Underlying Deases atau fraktur patologis.
Menurut Long (1996) penyebab fraktur adalah benturan cidera (jatuh atau kecelakaan) penyebab lain:
a. Patah tulang akibat kanker atau penyakit Osteoporosis
b. Keletihan tulang dimana otot tidak dapat mengabsorbsi energy missal berjalan kaki terlalu jauh
Menurut Jacobs (1993), menyatakan bahwa pembagian fraktur menurut tingkat kegawat daruratan atau tingkat kesakitannya adalah:
a. Derajat Satu (Grade I)
Luka laserasi lebih dari 1 cm atau tusukan-tusukan pada kulit dengan kerusakan optimal.
b. Derajat Dua (Grade II)
Luka laserasi lebih dari 2 cm atau seperti derajat satu dengan kulit dan otot mengalami luka memar
c. Derajat Tiga (Grade III)
Luka lebar rusak hebat hilangnya jaringan sekitarnya, luka lebih dari 6-8 cm dengan kerusakan sel-sel darah, saraf, otot dan kulit.

Tanda dan gejala fraktur adalah:
a. Nyeri hebat ditempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c. Rotasi luar kaki lebih pendek
Diikuti tanda gejala fraktur secara umum seperti fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka deformitas.

3. Klasifikasi Fraktur
Menurut Doengoes, Moorhouse dan Geissler (2000) adalah
a. Incomplete :fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan yang menyilang tulang, satu sisi patah, lainnya biasanya hanya bengkok
b. Tertutup : fraktur tidak meluas dan tidak keluar menembus kulit atau jaringan
c. Terbuka : fragmen tulang keluar melalui otot dan kulit, dimana potensi terjadi infeksi
d. Complete : garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubah cepat.
e. Patologis : fraktur terjadi pada penyakit tulang


Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis fraktur meliputi:
a. Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringa tulang yang luas sehingga terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
b. Fraktur Inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks yang utuh)
Menurut Black dan Matasarin (1993), yaitu fraktur berdasarkan dengan dunia luar, meliputi:
a. Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar melalui kulit.
b. Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga grade yaitu:
1) Grade 1: robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
2) Grade 2: seperti grade 1 dengan memar kulit dan otot.
3) Grade 3: luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf, kulit dan otot

Menurut Long (1996), membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
a. Green stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang (retak dibawah lapisan periosteum) atau tidak mengenai seluruh korteks, sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek.
b. Transverse yaitu patah melintang (yang sering terjadi)
c. Longitudinal yaitu patah memanjang.
d. Oblique yaitu garis patah miring.
e. Spiral yaitu patah melingkar.
f. Comunited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil.
Black dan Matasarin (1993), mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan kedudukan fragmen yaitu:
a. Tidak ada dislokasi
b. Adanya dislokasi, yang membedakan menjadi:
1) Dislokasi at axim yaitu membentuk sudut.
2) Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
3) Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
4) Dislokasi at lutuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan overlapp (memendek)


4. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer (2000)menyampaikan tidak semua gejala dapat bersamaan, yaitu:
a. Nyeri tekan dan pembengkakan disekitar sebagai fraktur jika frakturnya terbuka, ujung patah tulang akan dapat terlihat dalam luka
b. Angulasi: tidak hanya disebabkan oleh karena kekerasan menarik patahan yang menyebabkan tetapi oleh otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang
c. Pemedakan tonus otot-otot ekstremitas menarik patahan tulang sehingga ujung patahan saling bertunduk.
d. Mobilitas abnormal tempat patah menjadikan sendi bagian ini harus sedikit mungkin digerakkan karena dikhawatirkankalau terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan lunak, misalnya pembuluh darah dan syaraf.
e. Gangguan fungsi ekstremitas tidak dapat digunakan.
f. Grafitasi rasa gemeretak ketika ujung tulang bergerak.
Menurut Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:


a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma, Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak atau edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma) yang terlokalisir pada daerah fraktur dan ekstravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar atau ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari ekstravasi daerah di jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme, paralisis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kodisi normalnya tidak terjadi pergerakan Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang keposisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

5. Patofisiologi
Fraktur biasanya terjadi karena disebabkan oleh benturan langsung/ kecelakaan tapi bisa juga karena kondisi patologis (kelemahan tulang). Ketika patah tulang akan terjadi perdarahan atau hematoma yang berpotensi terganggunya integritas kulit yang bila luka dapat menjadi pintu masuknya kuman dan dapat terjadi infeksi yang meningkatkan Toksioliposakarida dari hasil sekresi protein yang dipecah sehingga pirogen terbentuk dan mempengaruhi resting thermostat pada hipotalamus yang meningkatkan suhu tubuh.
Sedangkan terputusnya ujung syaraf dapat merangsang pelepasan mediator kimia bradikinine, histamine, dan prostalglandin yang sampai pada korteks cerebri sehingga nyeri dapat dipersepsikan, sebagai akibat dari tindakan penanganan yaitu pembedahan sehingga terjadi perlukaan pada jaringan (diskontinuitas jaringan), pada saat terputusnya kontinuitas tulang maka suplai darah dan o2 ke jaringan menurun yang dapat merusak neuromuskuler kemudian berakibat rusaknya mobilitas fisik. Gangguan mobilitas fisik mempengaruhi otot sehingga kelemahan fisik terjadi, dan keterbatasan fisik yang dapat mengakibatkan defisit perawatan diri.
Dari rencana tindakan operasi, kurangnya informasi membuat koping individu tidak efektif sehingga menjadi cemas dan kurang pengetahuan tentang rencana operasi. Suplai darah dan o2 ke jaringan yang menurun dapat menurunkan aliran darah injuri vaskuler. Trauma jaringan dan oedema berlebihan yang akan meningkatkan pembentukan thrombus sehingga beresiko terjadi disfungsi Neurovaskuler. Suplai darah ke pembuluh darah menjadi berkurang sehingga menjadi Vasodilatasi sel plasma dan kapiler menjadi Hematoma (Doengoes, Moorhouse dan Geissler, 2000)

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang menurut Doengoes (2000:762) adalah:
a. Pemeriksaan rontgen
Untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur (trauma)


b. Scan tulang, Tomograf, CT Scan atau MRI
Untuk memperlihatkan fraktur juga dapat berguna untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
c. Arteriogram
Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Profil koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfuse multiple atau cidera hati
e. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
f. Hitung darah lengkap
Hipertensi mungkin meningkat

7. Penatalaksaan Secara Umum
Menurut Long (1996), penanganan pada fraktur dibagi menjadi beberapa hal antara lain:
a. Penanganan langsung
1) Pasang bidai sebelum memindahkan pasien atau pertahankan gerakan diatas dan dibawah tulang yang fraktur sebelum dan transplantasi
2) Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi oedema
3) Kirim pasien untuk pertolongan emergency
4) Pantau daerah yang cidera dalam periode waktu yang pendek untuk sedini mungkin dapat melihat perubahan waktu, pernafasan, dan suhu.
b. Imobilitas
1) X-Ray
2) Fiksasi eksternal bidai dan gips
3) Traksi
4) Fiksasi internal jarum, plat, skrup, kawat
5) Bone Scans, Termogran atau MRI Scans
6) Arteriogram, dilakukan bila ada kerusakan vaskuler
7) CCT kalau banyak kerusakan otot
c. Penanganan pada tulang terbuka
1) Debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda asing
2) Pemakaian toksoid tetanus
3) Kultur jaringan dan luka
4) Kompres terbuka
5) Pengobatan dengan antibiotik
6) Penutupan luka bila ada benda infeksi
7) Imobilisasi fraktur
Menurut Handerson (1997) imobilisasi fraktur yaitu mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah dalam bentuk semula (anatomis) imobilisai untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak. Cara-cara yang dapat dilakukan meliputi:
a) Reposisi atau reduksi
(1) Manipulasi atau Close Reduction
Adanya tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan lokal anestesi ataupun umum.
(2) Open Reduction
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan. Sering dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anestesia. Jika dilakukan open reduksi internalfiksasi pada tulang (termasuk sendi) maka akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
b) Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada dua macam yaitu:
(1) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan pleter langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48 – 72 jam)
(2) Skeletal Traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.
c) Imobilisasi
Setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah dipastikan pada posisi baik hendaknya diimobilisasi dan gerakan anggota badan yang mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang berubah posisi.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda