Home »
keperawatan
» Bronkhitis Kronik
Bronkhitis Kronik
Selasa, 21 Juni 2011 | 0 komentar
Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar di Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis masih menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tersering. Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang industri dan transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis kronik.
Bronkitis kronik termasuk kelompok penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Di negara maju penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar, karena bertambahnya jumlah penderita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 di Amerika Serikat ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan pada tahun 1977 kematian yang disebabkan oleh PPOK berjumlah 45.000 orang. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ke lima.
Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas yang bersifat ireversibel dan progresif. Bila penyakit telah terjadi, maka akan berlangsung seumur hidup dan memburuk dari waktu ke waktu. Perburukan akan lebih cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis lebih dini, pencegahan eksaserbasi akut, serta penatalaksanaan yang baik akan bermanfaat memperlambat perjalanan penyakit sehingga penderita dapat hidup lebih baik.
DEFINISI BRONKITIS KRONIK
Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan penyakit ini sebagai suatu gangguan batuk berdahak yang terjadi tiap hari selama paling kurang enam bulan dan jumlah dahak minimal satu sendok teh. Definisi yang banyak dipakai adalah definisi dari American Thoracic Society, yaitu penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama dua tahun berturut-turut. Produksi dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis kronik sering terdapat bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.
GEJALA KLINIS
Batuk produktif yang susah sembuh dan dispnea. Demam dan rinore dapat terjadi jika ada infeksi bakteri atau proses radang.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGIS PENYAKIT
Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang bersifat familial. Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan pada sebagian penderita PPOK, dan persentasenya bervariasi. Di RSUP Persahabatan ditemukan kekerapan hipereaktivitas bronkus yang tinggi pada penderita PPOK yaitu sebesar 76%.
Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok mengandung radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak pry; kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena
1) Kerusakan dinding alveolus
2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel.
Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Disamping itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibel.
Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur akan terjadi penurunan faal paru, yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebanyak rata-rata 28 ml per tahun. Pada penderita PPOK penurunan ini lebih besar yaitu antara 50-80 ml setiap tahun. Perburukan fungsi paru akan cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat memperburuk perjalanan penyakit. Faktor itu adalah:
1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta memperburuk penyakit seperti merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi dan perubahan cuaca.
2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi komponen yang memungkinkan terdapatnya reversibilitas.
3) Tahap perjalanan penyakit.
4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran napas bawah seperti sinusitis dan faringitis kronik.
5) Keteraturan penderita berobat.
PEMERIKSAAN
Anamnesis pasien, gejala-gejala klinis, adanya faktor-faktor predisposisi seperti merokok, polusi udara, pekerjaan. Pemeriksaan selanjutnya dengan spirometri. Jika hasil spirometri kurang dari 80 % menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. CXR bronkitis kronis ditemukan corakan bronkovaskuler yang ramai di basal paru dan pada emfisema terdapat bayangan lebih radiolusen.
PENATALAKSANAAN BRONKITIS KRONIK
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.
Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik; obat ini tidak saja diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk memperbaiki obstruksi yang terjadi. Adanya respons sesudah pemberian bronkodilator merupakan petunjuk penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator hendaklah selalu dicoba pada penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan adalah golongan antikolinergik agonis beta-2 dan golongan xanthin.
Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan secara inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid. Obat ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan golongan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar, tidak menimbulkan fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek samping tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem pembersihan mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 6-8 jam dan theurapetic margin of safety nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak diabsorpsi.
Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi mengurangi efek samping ini, selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak. Obat ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi otot polos saluran napas. Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya tahan terhadap kelelahan otot pada penderita PPOK. Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombinasi, tiga macam obat lebih baik dari dua macam obat, oleh karena mereka mempunyai efk sinergis. Pemberian secara kombinasi memberikan efek yang optimal dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan pemberian monoterapi; selain itu dosis yang rendah memberikan efek samping yang minimal.
Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak dan pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian antibiotika diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang baru pada fototoraks. Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin atau kotrimoksasol selama 7-10 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit diberikan antibiotika untuk gram negatif.
Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis; pemberian dilakukan secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan hipoksemi. Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru.
Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan akut pemberian steroid jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 4-7 hari, kemudian diturunkan secara bertahap selama 7-10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara, bertahap.
Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami hipoksemi kronik dapat menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen merupakan keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaO2 < lang="id-ID">-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur.
Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi CO2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada penderita ini rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi disebabkan oleh peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi. Pemberian oksigen tinggi dapat menghilangkan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh asidosis respiratorik. Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan takut. Pemakaian obatobat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat napas.
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan mengembalikan penderita pada tingkat yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara subjektif bermanfaat buat penderita dan dapat mengurangi hari perawatan di rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan; tetapi tidak mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas darah.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit adalah :
• Menghentikan kebiasaan merokok.
• Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya iritasi saluran napas.
• Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak terjadi eksaserbasi akut.
• Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.
• Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan obat-obat yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal.
• Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK selain berguna sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk melihat laju penyakit serta meramalkan prognosis penderita.
PERANAN N-ASETILSISTEIN PADA BRONKITIS KRONIK
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.
Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok. N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.
Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan. Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.
Bronkitis kronik adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditandai dengan gejala batuk dan produksi sputum. Berbagai faktor dapat menimbulkan penyakit ini. Bahan-bahan oksidan dan iritan yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi merupakan faktor utama terjadinya bronkitis kronik.
Pemberian bronkodilator merupakan pengobatan utama untuk mengatasi obstruksi yang terjadi, obat golongan antikolinergik merupakan bronkodilator pilihan pertama. Pemberian obat secara kombinasi akan memberikan efek bronkodilatasi yang optimal dan efek samping yang minimal. Antibiotika diberikan bila terdapat tanda-tanda infeksi. Obat-obat lain diberikan bila ada indikasi. Pemberian N-asetilsistein yang merupakan antioksidan mempunyai manfaat mengurangi jumlah dan purulensi sputum lamanya sakit dan frekuensi eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis secara dini, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi dan lingkungan yang terpolusi, melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur dapat memperlambat laju penyakit.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda