News Update :
Home » » Javier Zanetti: "Tahun tahun pertamaku untuk Si Biru-Hitam"

Javier Zanetti: "Tahun tahun pertamaku untuk Si Biru-Hitam"

Kamis, 09 Agustus 2012 | 0 komentar


Semenjak kecil, sebelum pertandingan, saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri sebuah slogan, yaitu saya harus menjaga konsentrasi saya selama pertandingan dengan baik. Ayah saya lah yang menanamkan sebuah kalimat penyemangat bagi saya dan ia masih menekankannya hingga saat ini. “Punga huevos, hombre, que hoy tienes que ganar.” Kalimat dalam bahasa Italia itu kira-kira artinya adalah seperti ini: “Kenakan semua atributmu, nak, dan sekarang kamu harus menang!” Itu merupakan sebuah ‘aturan’ yang berlaku bagi semua pesepakbola. Ketika memasuki lapangan, para pesepakbola harus selalu memberikan yang terbaik bagi tim-nya, namun juga harus mentaati peraturan yang diterapkan dilapangan dan menaruh ‘respect’ pada lawan.


Itulah yang saya coba terapkan saat pertama kali datang ke Inter. Saya tidak bisa cepat beradaptasi dengan gaya sepak bola yang baru, pola latihan dan skema yang berbeda. Namun, pelatih Italia pertama saya, Ottavio Bianchi, dengan cepat memberi saya kepercayaan yang cukup baik pada saya. Dari empat pemain asing (pemain baru), ia lebih memilih saya. Dan akhirnya, pada 27 Agustus 1995, saya memulai debut saya dengan seragam biru hitam Inter di pertandingan resmi. Lawan kami di stadion Giuseppe Meazza (stadion yang tadinya hanya saya bisa lihat di TV) saat itu adalah Vicenza. Selalu ada perasaan yang luar biasa ketika bermain di lapangan stadion Giuseppe Meazza. Debut saya berjalan baik dengan kemenangan Inter 1-0 atas Vicenza melalui gol Roberto Carlos, pemain yang juga baru menjalani debutnya di Inter seperti saya. Ini terlihat seperti awal yang baik untuk musim yang menjanjikan, namun hal itu sedikit demi sedikit berubah. Performa tim sedikit memburuk dan klasemen Inter pun tak terlalu baik. Rekan satu tim saya, Rambert, yang datang dengan harapan besar ternyata gagal menghadapi tekanan yang ada dan akhirnya meninggalkan kota Milan setelah hanya bermain beberapa bulan. Bagi seorang striker, mengembangkan diri di serie A selalu menjadi hal yang tidak mudah, apalagi ketika ia masih sangat muda. Selain itu, Avioncito mengalami beberapa masalah fisik/kebugaran sehingga ia pun meninggalkan Inter. Bagi saya, kepergiannya dari Inter terasa sangat berat karena kami memiliki beberapa kesamaan seperti: kami merupakan pemain Argentina, dan kami harus bersama sama membiasakan diri dengan kehidupan sepak bola bru yang cukup sulit. Saat ini, Sebastian telah pensiun dan menjadi seorang pelatih. Ia juga merupakan asisten Ramon Diaz, mantan pemain hebat dari Inter lainnya, di timnas Amerika. Sebelum Rambert pergi, Ottavio Bianchi, pelatih kami, dipecat di akhir September setelah mendapat hasil yang mengecewakan dalam beberapa pertandingan. Orang yang menggantikan posisinya ialah seorang pria berdarah Inggris yaitu Roy Hodgson (setelah untuk beberapa saat kami ditangani Luis Suarez). Dengan Hodgson, segalanya berubah, mulai dari jenis latihan, hingga pola permainan. Namun, Hodgson juga mengatakan bahwa ia menaruh kepercayaan padaku. Dan dengannya lah saya memulai karir yang panjang dan menggembirakan. Bersama Bianchi, saya bemain sebagai bek kanan dalam formasi 5-3-2. Sedangkan, bersama Hodgson, saya bermain sebagai gelandang kanan di formasi ‘diamond’, posisi yang sama bagi saya dalam beberapa musim terakhir. Bersama Hodgson, saya pun mencetak gol perdana saya bagi Inter di Stadion Giuseppe Meazza pada tanggal 3 Desember 1995 melawan Cremonese. Sebuah gol yang sangat berarti bagi saya dan saya selalu mengingatnya dengan sebuah kebahagiaan. “La Gazzetta dello Sport”, pada hari berikutnya memberikan nilai 8 dalam rating pertandingan. Dan tentu saja, mulai saat itu, nama saya menjadi sedikit lebih populer.

Bagi saya, lingkungan di Italia, khususnya di kota Milano, menjadi jauh lebih bersahabat. Hubungan saya dengan fans pun sangat baik. Saya tidak pernah menjadi seorang ‘leading man’, namun perlahan, menurut saya, saya telah mengambil hati orang orang di Inter yang berterimakasih atas kontribusi yang saya berikan. Momen yang sangat indah bagi saya adalah ketika Curva Nord mendengungkan sebuah chant/cori bagi saya (yang masih terdengar sampai saat ini): “Tra i nerazzurri c’e / un giocatore che / dribbla come Pele / dai Zanetti ale!” (“Diantara pemain Inter / ada seorang pemain / yang memiliki dribble seperti Pele / go Zanetti”). Mungkin perbandingan dengan Pele sedikit kurang pas, karena bagi orang Argentina, Maradona masih di atas pemain Brazil). Tapi saya harus mengakui bahwa chant/cori itu selalu ada dalam hati saya. Dan ketika Curva Nord menyanyikannya, saya selalu gemetar mendengarnya.

Jika dilihat dari pandangan pribadi, tahun pertama saya sebagai seorang Interista tidaklah buruk. Namun, dalam tim, kami memiliki hasil yang kurang memuaskan bagi tim yang selalu menargetkan gelar scudetto (kami ada di peringkat 7). Namun, itu merupakan Inter pertama di era Moratti, dan kita semua tahu bahwa sang presiden berencana untuk membangun tim yang lebih kuat.

Hanya berselang 1 tahun kemudian, keadaan jauh membaik. Inter berada di papan atas meski belum bisa mendapatkan gelar. Di Eropa, bersama Hodgson, pelatih yang sangat saya kagumi (meskipun ada beberapa rumor palsu yang menyebutkan bahwa saya memandang Hodgson sebahai musuh saya), kami memainkan sepak bola modern yang cantik. Kami melenggang ke babak final piala UEFA mengahadapi wakil Jerman, Schalke 04. Salah satu pertandingan yang menyisakan penyesalan bagi saya. Kalah 1-0 di kandang lawan dan membalasnya dengan skor yang sama di kandang sendiri. Adu pinalty pun harus dijalankan setelah tidak ada gol di kedua babak perpanjangan waktu. Dan kami kalah. Pertandingan yang menyisakan sedikit luapan kemarahan dalam diri saya, dan saya telah meminta maaf akan hal itu. Saat itu, pertandingan hanya menyisakan beberapa menit, bahkan detik, untuk dilanjutkan ke babak adu pinalty. Bola keluar lapangan dan wasit memberi sinyal pergantian pemain. Di sisi lapangan, muncul lah nomor 4 sebagai pemain yang harus keluar. Saat itu, saya tidak bisa menahan kemarahan saya. Keluar dengan geram, saya cekcok besar dengan Hodgson. Argumen yang bagi banyak orang terlihat seperti pertanda munculnya hubungan buruk saya dengan Hodgson. Terlepas dari isu itu, saya memang sedikit merasa kecewa. Sebagai pemain muda (yang tentu saja masih belum banyak pengalaman), saya tidak mengerti mengapa pelatih memutuskan untuk memasukkan Nicola Berti, yang memang lebih baik dalam adu tendangan pinalty. Sesaat setelah itu, di ruang ganti, saya meminta maaf dan semuanya telah terselesaikan dengan sebuah jabat tangan.

Kekalahan di final merupakan kenyataan pahit bagi kami. Mimpi untuk memenangi gelar Eropa sirna dari titik pinalty. Final itu membuat kami yakin bahwa Inter, dalam beberapa tahun ke depan, akan berjaya di Itali dan Eropa. Dan Moratti, pada musim panas berikutnya, membawa salah satu pemain terbaik dunia ke Giuseppe Meazza, dia adalah Ronaldo.

Sumber: Zanetti's Book (Capitano E Gentiluomo) Part 1 - interpersempre.com
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda